Analisis Komparatif Aktivitas, Konsep Leluhur, dan Sejarah Dalam O-BON dan Cit Gwee Pwa

Wijaya, Sherny ( 0742004 ) (2010) Analisis Komparatif Aktivitas, Konsep Leluhur, dan Sejarah Dalam O-BON dan Cit Gwee Pwa. Undergraduate thesis, Universitas Kristen Maranatha.

[img]
Preview
Text
0742004_Abstract_TOC.pdf - Accepted Version

Download (162Kb) | Preview
[img]
Preview
Text
0742004_Appendices.pdf - Accepted Version

Download (1586Kb) | Preview
[img]
Preview
Text
0742004_Chapter1.pdf - Accepted Version

Download (183Kb) | Preview
[img] Text
0742004_Chapter2.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only

Download (281Kb)
[img] Text
0742004_Chapter3.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only

Download (150Kb)
[img] Text
0742004_Chapter4.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only

Download (240Kb)
[img] Text
0742004_Chapter5.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only

Download (222Kb)
[img]
Preview
Text
0742004_Conclusion.pdf - Accepted Version

Download (83Kb) | Preview
[img] Text
0742004_Cover.pdf - Accepted Version
Restricted to Repository staff only

Download (43Kb)
[img]
Preview
Text
0742004_References.pdf - Accepted Version

Download (114Kb) | Preview

Abstract

序論 Penghormatan terhadap arwah leluhur merupakan suatu kegiatan menghormati nenek moyang (kakek, nenek, orang tua, dan sanak keluarga yang telah meninggal) yang dilakukan oleh anggota keluarga yang masih hidup. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk memberikan kebahagiaan dan memenuhi kebutuhan mereka secara layak setelah meninggal. Hal ini menunjukkan bakti dan syukur terhadap anggota keluarga yang telah meninggal. Penghormatan terhadap leluhur sebagai kepercayaan masyarakat, khususnya di kawasan Asia Timur seperti di Jepang dan China, telah menjadi suatu hal yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat dan diwujudkan melalui banyak media perayaan-ritual. Salah satu dari ritual yang hingga kini masih dilakukan adalah perayaan Ullambana Sutra yang di Jepang disebut sebagai O-bon (御盆), dan di China disebut sebagai Cit Gwee Pwa. O-bon merupakan perayaan yang dilakukan pada pertengahan bulan Agustus. Karena dikatakan bahwa pada periode ini, arwah leluhur akan kembali ke dunia untuk datang ke rumah anak cucunya. Pada awal perayaan, akan dibakar api penyambutan, dan di dalam rumah akan dipasang altar yang dihias dengan persembahan untuk menyambut arwah leluhur. Pada akhir perayaan, akan dibakar api pengantar dan pelarungan lampion di sungai untuk mengantarkan arwah kembali ke alam baka. Sama dengan o-bon, perayaan cit gwee pwa pun dilakukan pada pertengahan bulan Agustus, dengan tujuan untuk memuaskan arwah leluhur, dan agar arwah kelaparan yang dilepas dari neraka tidak mencelakakan manusia yang masih hidup. Pada awal perayaan, setiap rumah akan menggantung lampion di depan pintu rumah sebagai penanda arah dan memasang altar yang dihias dengan sesajian untuk menyambut arwah leluhur. Pada saat inipun, dipercaya bahwa arwah leluhur akan kembali dan datang ke rumah anak cucunya. Pada akhir perayaan, akan dilakukan pelarungan lampion di sungai untuk mengantarkan arwah kembali ke alam baka. Spencer, Ellen, dan Kaplan menyatakan bahwa suatu produk budaya yang sama yang dimiliki negara-negara yang berada di daerah yang sama dapat memiliki persamaan dan perbedaan. Maka di dalam penelitian ini, penulis akan membandingkan kedua perayaan tersebut dengan meninjaunya dari segi aktivitas, latar belakang sejarah, asal usul, dan objek penghormatan. Metode yang digunakan adalah metode desktriptif komparatif. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan dan mengkomparasikan perayaan o-bon dan cit gwee pwa, memahami penyebab persamaannya, serta untuk mengetahui perbedaan dan persamaan konsep leluhur yang terkandung di dalamnya. 本論 Dari data-data yang telah didapatkan, maka dapat diketahui bahwa di dalam perayaan o-bon dan cit gwee pwa ternyata memang terdapat perbedaan dan persamaan, terutama dalam aktivitas ritualnya. Persamaan dapat dilihat dalam penyalaan api di depan rumah pada permulaan o-bon (mukae-bon) dan penggantungan lampion di depan rumah pada permulaan cit gwee pwa. Penyalaan api ini dilakukan sebagai penunjuk arah bagi arwah leluhur agar tidak tersesat dalam perjalanannya pulang ke rumah anak cucunya. Tidak hanya penyalaan api, pelarungan lampion ke sungai pada saat hari terakhir cit gwee pwa dan o-bon pun dilakukan untuk mengantarkan arwah kembali ke alamnya. Di dalam kedua perayaan ini, pemberian persembahan ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus untuk memenuhi kebutuhan arwah leluhur, hal ini berdasarkan pemikiran bahwa selepas seseorang meninggal, mereka membutuhkan asupan energi untuk bertahan sebagaimana orang yang masih hidup. Kematian tidaklah dianggap sebagai akhir kehidupan, tetapi sebagai suatu kesinambungan dan kelanjutan dalam suatu generasi. Dipercaya bahwa jika arwah leluhur tidak dipuaskan kebutuhannya, maka mereka akan menurunkan bencana kepada anak cucunya, begitu pula sebaliknya. Tidak hanya persembahan berupa makanan, baik pada masa o-bon dan cit gwee pwa, diadakan pertunjukkan dan tari-tarian di lapangan terbuka untuk menyenangkan arwah leluhur. Pada masa o-bon dan cit gwee pwa, setiap keluarga akan memasang altar leluhur di dalam rumah untuk menaruh persembahan. Agak berbeda dengan o-bon, pada waktu cit gwee pwa, ada dua buah altar yang dipasang, yaitu altar leluhur dan altar untuk hantu kelaparan. Altar leluhur dipasang di dalam rumah, dan altar untuk hantu kelaparan dipasang di depan rumah atau di pinggir jalan. Hal ini dilakukan agar hantu kelaparan tidak merebut persembahan yang ditujukan bagi arwah leluhur. Perbedaan juga dapat dilihat melalui persembahan berupa bunga yang diletakkan di altar leluhur. Dalam o-bon, persembahan bunga selain ditujukan untuk menghias altar leluhur, juga sebagai sarana leluhur untuk kembali ke rumah selama o-bon. Hal ini sesuai dengan pemikiran bahwa bunga merupakan tempat tinggal leluhur pada masa o-bon, dalam konsep Shintoisme, tumbuhan dianggap sebagai tempat berdiamnya leluhur, dan pegunungan dianggap sebagai dunia tersembunyi bagi arwah setelah mereka meninggal. Sedangkan dalam cit gwee pwa, selain untuk menghias altar, bunga digunakan untuk mengingatkan sanak keluarga atas kehidupan manusia yang sementara. Objek penghormatan dari kedua perayaan tersebut adalah arwah leluhur. Di dalam o-bon, arwah yang disembah adalah: leluhur generasi pertama, arwah leluhur generasi selanjutnya dari leluhur generasi pertama, arwah relasi (kakak/ adik dari pihak generasi pertama atau relasi dekat dari ibu), dan arwah yang dianggap perlu disembah. Sedangkan di dalam cit gwee pwa, arwah yang disembah adalah: arwah leluhur yang memiliki hubungan darah, para arwah yang tidak memiliki sanak keluarga dan tidak terurus (termasuk di dalamnya adalah pelaku tindak kriminal, peminta-minta, dan lain sebagainya), dan arwah yang tidak memiliki keturunan, serta para arwah yang menderita karena kematian yang tidak wajar atau yang tidak sesuai dengan tempat dan waktu yang telah ditentukan. Pada hari terakhir o-bon, persembahan yang diletakkan di altar leluhur akan dibungkus dan dialirkan ke sungai bersama dengan shouryoubune, sedangkan pada cit gwee pwa, persembahan akan dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Tidak hanya itu, keduanya pun memiliki latar belakang sejarah dan konsep pemikiran yang hampir sama. Keduanya berakar dari pemikiran yang sama bahwa arwah leluhur harus dihormati karena mereka mampu mempengaruhi kehidupan manusia, yang kemudian berkembang menjadi perayaan dan mendapatkan pengaruh dari ajaran Buddha. Konsep leluhur di Jepang dan di China pun memiliki kesamaan, yaitu berakar dari mitos penciptaan masing-masing negara, yang kemudian dibatasi dengan ikatan darah dalam keluarga. Konsep mengenai kehidupan setelah kematian dan pembagian ruh memiliki kesamaan, namun yang membedakan adalah pemikiran mengenai kelahiran kembali. 結論 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan aktivitas dalam o-bon dan cit gwee pwa terletak pada penyalaan dan pelarungan api (lampion), persembahan, dan tari-tarian. Objek penghormatan dalam kedua perayaan tersebut sama, yaitu arwah leluhur. Perbedaan terletak pada penempatan altar leluhur, penghanyutan persembahan, dan persembahan berupa bunga. Konsep leluhur di dalam keduanya berakar dari tokoh dalam kisah mitologis mengenai pembentukan masing-masing negara, Jepang dengan kisah mengenai Izanami dan Izanagi, dan China dengan kisah mengenai Pan Ku. Batasan mengenai leluhur di Jepang dan China memiliki kesamaan, yaitu pendahulu yang masih memiliki garis darah yang sama, dan keturunan setelahnya. Begitu pula dalam konsep mengenai jiwa, keduanya mempercayai bahwa jiwa seseorang yang telah meninggal akan terbagi menjadi beberapa bagian, dan masing-masing akan menuju ke tempat-tempat yang berbeda. O-bon dan cit gwee pwa memiliki dasar pemikiran yang sama. Keduanya beranggapan bahwa arwah seseorang yang telah meninggal memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan orang-orang yang masih hidup. Karena itulah arwah leluhur disembah dan dipuaskan dengan sesajian agar para leluhur memberkati dan melindungi anak cucunya. Penghormatan kepada arwah leluhur ini dilakukan untuk mengungkapan rasa syukur dan untuk memohon berkat. Kedua penghormatan leluhur ini kemudian berkembang dan mendapatkan pengaruh dari ajaran Buddha, yaitu Ullambana Sutra. Adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu budaya yang sama membuktikan bahwa suatu produk budaya yang muncul dan menyebar di satu wilayah (dalam hal ini, Asia Timur) dapat mengalami perkembangan dan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan adat istiadat dan pola pikir masyarakat tempat kebudayaan tersebut menyebar.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Subjects: P Language and Literature > PN Literature (General)
Depositing User: Perpustakaan Maranatha
Date Deposited: 02 Oct 2014 11:29
Last Modified: 03 Oct 2014 02:11
URI: http://repository.maranatha.edu/id/eprint/7088

Actions (login required)

View Item View Item